Banyu layar, dermaga Langit

selamat malam, Langit

aku sudah membaca surat elektronikmu. baru saja, petang tadi selepas maghrib.
sebenarnya aku telah menerimanya semenjak pagi,
namun aku menunda diri untuk membacanya.
ya, terlalu lama kita tak saling menyapa,
dan aku butuh mempersiapkan diriku
untuk membaca suratmu yang tak bisa kuterka isinya.

sejujurnya,
kedatangan suratmu -entah- seperti angin musim semi
tiba-tiba
dan sejukkan dada.
ada ucapan puji yang ku ulang berkali.

kau menulis suratmu seperti tanpa beban,
seperti tak terjadi apapun.
kau seperti biasa, bercerita dengan lancar dan bernada bahagia.
ya, paling tidak seperti itulah yang kubayangkan saat membaca suratmu.
dan itu membuatku tersenyum.
kau...
bagaimana bisa...

Langit,
sungguhkah kau tak apa ?
aku telah meninggalkanmu tanpa satupun pesan untuk sekian lama.
aku tak menghubungimu,
tak merespon semua pesanmu,
hingga nampaknya kau jengah.

tidakkah kau merasa sakit padaku ?
paling tidak, menanyakan kenapa ?
namun hal itupun tak kau lakukan dalam suratmu.

suratmu adalah semacam dongeng,
cerita panjang yang lucu, menyenangkan dan sedikit -menegangkan, dalam versimu- tentang keseharianmu.
menceritakan sahabat-sahabatmu yang belum pernah kutemui, namun terasa akrab
menceritakan lingkunganmu yang baru dan segala keunikannya...
bahkan tentang bunga tidurmu di suatu malam,
memandang bulan separuh bersamaku dengan secangkir kopi untuk berdua.

kau menceritakan semuanya,
membuat jeda yang kita punya seketika runtuh tak bersisa...

Langit, masihkah kau begitu percaya padaku ?
pada seribu diamku ?

....

tak lama, surat elektronik keduamu datang,
dan surat keduamu seolah menjawab monolog panjang dalam hatiku.

...

Banyu,
aku percaya pada diam mu
yang sesekali menggelisahkan ku

aku percaya dalam diam mu atas itikad kuat
yang tersimpan rapat.
dan akan tetap rapat sampai waktu yang tepat.

aku percaya karena diam mu
adalah penjagaan kuat berlapis tujuh atas ingin mu penjagaan itu bagi ku

aku percaya,
diam mu merupakan pengamatan yang halus, teliti, rinci pada naluri yang mendeteksi

aku percaya,
diam mu itu adalah penantian bagiku
adalah jeda yang kau siapkan untuk ku
kesempatan tuntaskan bakti ku
sela untuk perkuat bekal ku

apapun diam itu,
aku percaya padamu.
karena percaya inilah yang membuat ku
terus setia berjaga
di ujung dermaga.

...

Langit,
kali ini kau pasti menulisnya sambil mengusap air mata.
Langit,
biarkan jeda ini...
biarkan dia mendewasakan aku dulu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

sederhana yang hebat

Rasa yang Menjagamu

Saat-saat Aku Tidak Membela Ibu (piece 1)