Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Rasa Baru

Assalamu'alaikum, Dear Banyu, Hari ini diawali dengan pagi berkabut nan dingin Aku membuka jendela pagi ini dengan malas. Langit nampak mendung dan fajar pagi tak nampak. Tapi aku tetap harus beranjak pagi benar. Seseorang dan beberapa lainnya telah menantiku di kota seberang. Selepas shubuh aku berangkat. Angin dingin ramai sekali menyelip disela-sela cardigan tipisku. Tapi pagi ini tetap pagi seperti biasa bukan, Banyu ? Pagi seperti biasanya ketika matahari hendak terbit, sembahyang dan mandi dengan air seperti es. Seperti biasanya, Kecuali, aku sudah melewatkan beberapa malam ini tanpamu. Cerita harian juga seperti biasanya. Tentang presiden yang tidak salah satupun kita idolakan. Tentang ricuh perang di Ghaza yang sedang marak kembali. Tentang Ayahku yang kemarin biasa-biasa saja. Tentang nenekku yang setiap pagi membangunkan seisi rumah dengan suaranya yang lantang, namun menangis meringkuk kesepian menjelang mata terpejam. Atau tentang bangun siangku

Temaram

Seorang lelaki, Yang membawa minyak bercahaya temaram. Ketika petang selepas senja tenggelam. Sendiri, duduk di tepian dermaga. Mendekap erat lampu minyaknya yang menyala temaram. Angin dingin berhembus, Membelai sela-sela rambutnya yang ikal dan halus. Matanya yang jernih dan bening Memandang jauh pada ujung danau Menembus kabut samar yang mengambang di permukaan. Mendekap erat lampu minyaknya yang menyala temaram. Sesuatu ia rindukan. Sesuatu di tempat yang jauh. Yang tak kan bisa teraih kembali. Ia rindukan suatu hangat Yang membelainya semenjak ia tak bernama. Bahunya yang tegak melengkung, Melipatkan erat kedua tangannya saat hawa dingin tiba. Ia masih disana, Duduk di tepian dermaga kala petang, selepas senja tenggelam. Temaram, Hatinya temaram, Ia kedinginan, namun ada kehangatan di dalam. Senyumnya temaram, Tatapannya temaram, Menentramkan.

memori tuan melankolis

Dalam perjalanan, aku bertemu dengan tuan melankolis. Bahkan kami enggan berpisah sehingga membawa kami pada sebuah kafe nyaman. Ada cerita yang ku bawa pulang. ... Menjadi bagian dari melankolis kadang dianggap lemah. Mengingat dan menyimpan dengan baik kenangan. Dan aku rasanya tak perlu menjadi ini dan itu untuk menyimpan kenangan. Alamiah saja, setiap orang dengan otomatis dapat mengingat kejadian. Tak mengapa, Jika kau terus saja ada dan berkeliaran di kepalaku. Dalam ingatan. Dan mungkin beberapa kali dalam mimpi buruk. Memang manusia memiliki otak dan ingatan. Lalu kenapa harus dipaksakan untuk dilupakan ? Jika memang pernah ada dalam hidup - dan menjadi bagian dari cerita perjalanan. Mengapa harus melompati kronologis yang sudah berurutan dengan melupakan ? Seperti negative film yang terpotong di bagian tengahnya. Bukankah justru merusak jalan cerita ? Karena hidup tak bisa mengedit masa lalu, sehingga memotong slide cerita akan memutuskan alurnya. Ingin m

Saat-saat Aku Tidak Membela Ibu (piece 1)

Suatu hari saat aku masih di taman kanak-kanak, aku diminta oleh bu guru untuk mengikuti sebuah lomba mewarnai dan menggambar. Salah satu alasannya karena aku punya pensil warna sendiri. Sepulang dari sekolah, dengan nada malas tapi sedikit sombong, aku memberi tahu ibu tentang permintaan guruku hari itu. Kemudian, dengan penuh semangat, ibu memberiku "training" khusus untuk mempersiapkanku sampai hari H. Ibu mengajarkan padaku cara menggambar yang baik tentu saja menurut versi beliau. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah membuat garis tepi pada kertas gambar. Masing-masing sisi adalah 1 cm dari tepi jika kertas A3, dan 0.5 cm jika menggunakan kertas ukuran A4 atau F4. Tahap selanjutnya adalah membuat pola gambar utama menggunakan pensil. Jika sudah dibuat gambar utama, lalu mengembangkan sendiri imajinasi gambar dengan pensil warna yang sebelumnya selalu diruncingkan. Pelajaran ini terus berulang beberapa malam sampai hari H tiba. Saat itu, ada hal yang membuat